Setiap tahun agenda grebeg besar atau besaran diselenggarakan. Poster dan baliho dengan gambar artis-artis dangdut menunjukkan tubuh bahenol...
Setiap tahun agenda grebeg besar atau besaran diselenggarakan. Poster dan baliho dengan gambar artis-artis dangdut menunjukkan tubuh bahenol dipasang disudut-sudut kota demi menarik pengunjung. Lalu untuk apa sebenarnya besaran ini diselenggarakan? Agenda ini kelanjutan dari dakwah para wali atau justru sebaliknya pengingkaran terhadap syiar mereka? Mari kita telusuri.
Besaran diselenggarakan setahun sekali setiap bulan besar atau bulan Dzulhijah untuk memperingati hari raya Idul Adha. Menurut Sri Mulyono via Agus Sunyoto hari besar yang harus diperingati di Kasultanan Demak pada waktu itu adalah hari raya idul Fitri, Idul Adha, dan Maulud Nabi, yang terakhir inilah yang paling diutamakan.
Untuk memeriahkannya, Raden Fatah membuat gamelan laras pelog yang pada hari-hari tertentu terutama pada ketiga hari yang disebutkan di atas diletakkan di bangsal masjid dan dimainkan. Tujuannya apa? Untuk menarik minat masyarakat. Dan memang benar banyak masyarakat yang tertarik untuk berkunjung melihat dan menikmati. Gamelan itu diberi nama sekati, dari kata syahadatain. Masyarakat yang datang dan tertarik memeluk Islam lalu dibimbing untuk mengucapkan dua kalimah syahadat sebagai pernyataan memeluk Islam. Sekarang gamelan sekati guntur madu terdapat di Yogyakarta.
Lalu apa tujuan acara grebeg besar yang diselenggarakan pada tahun-tahun belakangan ini? Apakah kita percaya jika tujuannya adalah untuk syiar Islam sebagaimana yang dilakukan oleh Raden Fatah?
Besaran saat ini diselenggarakan di lapangan tembiring. Antara masjid dengan lapangan Tembiring tempat diselenggarakannya besaran tidak terhubung secara idiologis. Lapangan tembiring ramai tetapi masjid kesepian. Besaran yang diselenggarakan sekarang berorientasi ekonomi. Tujuannya untuk mengeruk pendapatan sebanyak-banyaknya. Seolah-olah antara dakwah dan ekonomi adalah hal yang berbeda dan tidak bisa diselaraskan.
Memang sekarang ini agama dan kesejarahan dijual. Istilah untuk ziarah saja diganti dengan wisata religi. Ziarah adalah mendatangi makam para aulia dengan tujuan mengormati jasa-jasa para aulia, mendo’akannya agar mendapatkan inspirasi atas ketakmawaan mereka. Sedangkan wisata religi terdengar berorientasi jualan. Sebuah tempat diekploitasi sedemikian rupa agar dapat dikunjungi sebanyak-banyaknya orang dan ujung-ujungnya adalah pemasukan.
----------------
Penulis: Muhajir Arrosyid, Warga Demak Pegiat literasi, pendidikan, seni dan budaya. Dosen Universitas PGRI Semarang.
Poster Gerebeg Besar Yang Menampilkan Gambar Biduan Dangdut , Yang dipasang oleh Diana Ria (Penyelenggara) |
Besaran diselenggarakan setahun sekali setiap bulan besar atau bulan Dzulhijah untuk memperingati hari raya Idul Adha. Menurut Sri Mulyono via Agus Sunyoto hari besar yang harus diperingati di Kasultanan Demak pada waktu itu adalah hari raya idul Fitri, Idul Adha, dan Maulud Nabi, yang terakhir inilah yang paling diutamakan.
Untuk memeriahkannya, Raden Fatah membuat gamelan laras pelog yang pada hari-hari tertentu terutama pada ketiga hari yang disebutkan di atas diletakkan di bangsal masjid dan dimainkan. Tujuannya apa? Untuk menarik minat masyarakat. Dan memang benar banyak masyarakat yang tertarik untuk berkunjung melihat dan menikmati. Gamelan itu diberi nama sekati, dari kata syahadatain. Masyarakat yang datang dan tertarik memeluk Islam lalu dibimbing untuk mengucapkan dua kalimah syahadat sebagai pernyataan memeluk Islam. Sekarang gamelan sekati guntur madu terdapat di Yogyakarta.
Foto: Gamelan Sekati Guntur Madu asal Demak (Sumber Atlas Wali Songo karya Agus Sunyoto) |
Besaran saat ini diselenggarakan di lapangan tembiring. Antara masjid dengan lapangan Tembiring tempat diselenggarakannya besaran tidak terhubung secara idiologis. Lapangan tembiring ramai tetapi masjid kesepian. Besaran yang diselenggarakan sekarang berorientasi ekonomi. Tujuannya untuk mengeruk pendapatan sebanyak-banyaknya. Seolah-olah antara dakwah dan ekonomi adalah hal yang berbeda dan tidak bisa diselaraskan.
Memang sekarang ini agama dan kesejarahan dijual. Istilah untuk ziarah saja diganti dengan wisata religi. Ziarah adalah mendatangi makam para aulia dengan tujuan mengormati jasa-jasa para aulia, mendo’akannya agar mendapatkan inspirasi atas ketakmawaan mereka. Sedangkan wisata religi terdengar berorientasi jualan. Sebuah tempat diekploitasi sedemikian rupa agar dapat dikunjungi sebanyak-banyaknya orang dan ujung-ujungnya adalah pemasukan.
----------------
Penulis: Muhajir Arrosyid, Warga Demak Pegiat literasi, pendidikan, seni dan budaya. Dosen Universitas PGRI Semarang.
Di salah satu buku saya pernah baca grebeg besar digunakan untuk menunjukkan kesetiaan setiap daerah kepada kesultanan demak, mirip dengan tradisi yang berlangsung di era majapahit namun telah di sisipi dengan islamisasi tentunya.
BalasHapus