Pada September-Oktober 2016 ini, sebagian desa di Jawa Tengah menyelenggarakan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Di Kabupaten Demak akan dil...
Pada September-Oktober 2016 ini, sebagian desa di Jawa Tengah menyelenggarakan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Di Kabupaten Demak akan dilaksanakan pada 9 Oktober 2016. Hari-hari ini adalah masa-masa sosialisasi calon. Tak heran jika di pojok-pojok kampung dapat kita saksikan gambar-gambar calon kepala desa beserta kalimat bujuk rayu. Tulisan ini hendak membahas alat kampanye yang antara satu calon dengan calon yang lain relatif berpose dan berpakaian sama. Ada apa?
Sebelum ‘era wajah’ seperti sekarang ini, calon-calon kepala desa itu diwakili oleh tanaman yang tumbuh di desa tempat pemilihan berlangsung. Tumbuhan tersebut seperti padi, singkong atau ketela, jagung, dan lain-lain. Pemilihan tanaman sebagai simbul ini terasa pas karena dari tetumbuhan itulah keberlangsungan hidup masyarakat desa dilanjutkan. Bertani adalah mata pencarian mereka.
Sekarang tidak ada lagi gambar jagung, padi, dan ketela. Saat ini yang kita saksikan adalah langsung gambar calon, baik yang dipasang sebagai media kampanye maupun yang dicoblos di bilik suara. Yang saya amati, media-media kampanye di Kabupaten Demak kebanyakan memiliki pola yang sama. Pola yang sama itu dalam budaya populer disebut formula. Formula tersebut adalah foto calon mengenakan jas dan dasi, tak lupa mengenakan peci. Posenya sama, menghadap kedepan selayaknya foto KTP. Satu lagi, wajahnya diputihkan menggunakan program pengolah gambar.
Sebuah gambar adalah sebuah narasi, ia meminta pemirsanya untuk membaca, mengartikan cerita apa dibalik gambar tersebut. Dasi, jas, peci adalah satu paket yang menceritakan tentang kepriyayian, keningratan, orang besar. Peci juga bisa bercerita tentang kesalehan. Meskipun sebenarnya peci, sebagaimana dilakukan oleh Sukarno bermakna ideologis. Peci digunakan oleh Sukarno sebagai pembeda dengan bangsa penjajah.
Bagaimanakah seharusnya kepala desa? Menurut Yumiko M. Projono dalam buku Demokrasi di Pedesaan Jawa, kepala desa merupakan seorang warga desa yang hakikat peranan dan tugas hidupnya, kecakapan, budi-pekerti, serta tabiatnya melebihi warga yang lain. Pengaruh seorang pemimpin banyak ditentukan oleh sifat kepribadiannya antara lain: dilihat dari kejujuran, rasa solidaritas, penguasaan atas pengetahuan, dan kebendaan, serta peranannya dalam segala bidang kehidupan masyarakat desa.
Dalam pernyataan di atas kita patut menggaris bawahi kata ‘melebihi warga yang lain’. Melebih sesuai dengan pendapat Yumiko adalah dalam bidang budi, kecakapan, tabiat. Sayangnya oleh tim sukses calon Kades saat ini kata melebihi ini dibangun menggunakan pakian yang berjas, dasi, dan peci itu.
Dalam benak tim sukses, untuk terlihat melebihi, strategi yang perlu dilakukan adalah membuat jarak dengan pemilih. Pemilih adalah rakyat sedangkan yang dipilih adalah pejabat. Tentu saja pejabat harus tampak lebih gagah daripada rakyatnya. Jika rakyat dalam keseharian mengenakan caping, berpakaian lusuh karena kantornya adalah sawahnya, maka calon pemimpinnya harus tampak rapi dengan mengenakan jas meskipin kedodoran karena mungkin jas pinjaman.
Jarak diperlebar dengan memutihkan wajah dalam gambar menggunakan program pengolah gambar. Jika pemilihnya berkulit coklat maka pantasnya kepala desa memiliki kulit yang lebih cerah dan halus. Putih dan halus dianggap lebih baik. Ini sisa-sisa penjajahan. Mental orang yang dijajah menganggap apa-apa yang dimiliki penjajahnya lebih baik.
Seharusnya ‘melebihi’ itu bisa ditunjukkan dengan kiprah di desa di waktu sebelumnya seperti aktif di lembaga keagamaan, organisasi kepemudaan, dan organisasi kemasyarakatan. Media kampanye dengan mengenakan pakain yang sama dengan pemilih akan membahasakan bahwa calon memiliki solidaritas, istilah Jawanya ‘bocahe dewe’. Pakian yang sama dengan pemilih akan mendekatkan.
Karena mengunakan strategi yang sama antara incumbent maupun penantang jadi tidak ada pembeda (deferensiasi). Padahal dalam sebuah pertaruangan semacam ini diperlukan pembeda. Pembeda dibutuhkan untuk membantu pemilih mengenali pilihannya. Semakin perbedaan itu tajam, semakin mudah calon pemilih untuk mengenali pilihannya. Strategi itu dilakukan oleh Joko Widodo saat mencalonkan diri baik sebagai Guburnur DKI maupun presiden. Di era calon lain asik mencitrakan diri dengan kesalehan dan kepriyayiannya mengenakan peci dan jas, Jokowi tampil mencitrakan diri sebagai anak muda yang mau bekerja dengan mengenakan baju kotak-kotak.
Jika kualitas calon, juga pencitraan tak ada bedanya antara satu calon dengan calon yang lain, saya khawatir. Yang menjadi pembeda dan akan menentukan memilih hanyalah uang serangan fajar. Ia yang paling banyak memberi uang saku, ia yang akan terpilih. Hal yang terus berulang dalam setiap pilkades dan entah kapan akan berakhir.
Muhajir Arrosyid – dosen Universitas PGRI Semarang
Saya senang dengan tulisan Anda Pak, kapan semua ini kan Berakhir.. Pemilih bukan lagi mengedepankan Kualitas Calon tapi karena Uang.
BalasHapus